Jumat, 21 November 2008

Panduan Bunuh Diri yang Benar

1. Kalau bukan selebriti, jangan bunuh diri cepat-cepat.

Jadilah selebriti lebih dahulu. Agar kematian kamu dikenang oleh publik sebagai sebuah tragedi bersejarah. Misalnya: Kurt Cobain hingga Hitler atau Cleopatra hingga Marlyn Monroe. Kalau bukan seleb, jangan bunuh diri. Sebab nama kamu nggak bakalan masuk ke wikipedia.

2. Bunuh diri sendirian hanyalah akan menjadi noktah dalam statistik makalah mahasiswa filsafat atau kedokteran.

Maka itu, agar sukses, sebelum bunuh diri buatlah sebuah sekte. Isinya orang-orang yang senasib sepenanggungan. Jadikan diri kamu nabi mereka. Kalau mereka percaya kamu nabi, utusan tuhan, atau manusia suci… Barulah ajak mereka kedalam teori kamu akan ‘pembebasan jiwa dari raga’. Kalau kamu tidak punya pengikut, ngapain bunuh diri? Rugi.

3. Sebelum bunuh diri, bilang pada orang-orang kamu mau ‘meninggalkan dunia untuk selama-lamanya secara sengaja’.

Nah dari sana, kamu bisa lihat, orang yang peduli dengan kamu. Biasanya, ada yang nangis, ada yang meratap-ratap, dan pasti ada pula yang melarang-larang. Semakin banyak yang meratap, menangis dan melarang, semakin hebat lah kamu. Nah, kalau tidak ada yang menangis, meratap dan melarang… JANGAN BUNUH DIRI.

Ingat, kalau tidak ada yang peduli kamu mati atau hidup, JANGAN BUNUH DIRI. Sebab aksi kamu sia-sia belaka.

Belajarlah dari blogger yang membunuh blognya dengan sengaja. Apakah ia menjadi tenar? Atau malah hanya jadi angin selintas belaka? Sebab jadi blogger itu enak. Ngaku-ngaku saja pada publik bahwa ia akan membunuh blognya, pasti banyak yang akan komentar serius. Kalau sudah mengaku akan bunuh diri, tapi tidak dapat hits atau komentar, JANGAN BUNUH DIRI!

4. Jadilah fasis sebelum bunuh diri.

Kalau kamu berniat mau bunuh diri. Kamu pasti bukan fasis. Sebab hitler itu walaupun fasis, bunuh diri bukan gara-gara kepingin, tapi gara-gara Nazi Jerman sudah kalah dari sekutu.

Sebab walaupun sangat amat layak bunuh diri, fasis itu biasanya ogah mati. Malah berniat hidup selama-lamanya, agar bisa menindas manusia lain lebih lama.

Nah, kalau kamu banyak hutang, putus cinta ditinggal kekasih, terlibat masalah pelik, jangan bunuh diri. Sebab kalau banyak hutang, bilang saja kepada pemberi hutang, kamu nggak bisa bayar. Lalu cari solusinya bersama. Kalau patah hati, belajarlah menunggu. Tunggu tiga bulan lagi, pasti ada perubahan. Kalau terlibat masalah pelik, cobalah berenang. Berenang itu baik untuk menyelesaikan masalah. Tidak percaya? Jangan bunuh diri, belajar lah berenang dahulu.

5. Pakailah cara yang tidak konvensional.

Sebab kalau cuma gantung diri, minum obat nyamuk, nyilet nadi… Itu mah biasa. Dan sekali lagi, yang biasa itu tidak menimbulkan reaksi apa-apa. Ngapain kamu bunuh diri kalau tidak menimbulkan reaksi? Maka itu pergunakanlah cara yang tidak biasa.

Contoh; Jadilah orang kaya, pemilik perusahaan terkenal merangkap menteri, lalu buat perusahaan kamu ngebor tanah dan menimbulkan lumpur yang luar biasa tak terkira, bau dan panas. Nah, ketika kamu tahu, bahwa kamu sudah mencederai begitu banyak umat manusia dan harus bertanggung-jawab sementara kamu tidak tahu jawabnya, terjunlah ke lautan lumpur. Kematian kamu pasti akan membuat anak buah kamu serta merta membereskan lumpur itu cepat-cepat. Sebab mereka tidak mau atasan kamu, keluarga kamu hingga selir-selir kamu melakukan hal yang sama.

Kamis, 20 November 2008

Pewarta Foto vs Pewarta Berita

MEMOTRET bagi dunia jurnalistik memang sudah tidak asing lagi. Pun begitu bagi saya. Beranjak dari seorang pewarta foto, sekarang saya malah beralih status menjadi pewarta berita. Yah, kalau dulu hanya berkutat pada kamera dan lensa, sekarang malah sebaliknya. Jangankan lensa, kamera pun sudah asing bagi saya.

Sekarang yang harus saya bawa adalah alat rekam dan sebuah notebook. Kalau dulu, hampir setiap saat, yang namanya ponsel selalu saja berdering. Terbanyak adalah dari wartawan yang memohon agar saya bisa datang ke suatu tempat atau kejadian untuk mengabadikan gambar. Dan tidak pernah pakai acara kompromi, karena telat sedikit, moment pun berlalu.

“Waktu adalah Moment, bukan uang,” ujar wartawan senior kepada saya. Aneh, karena setahu saya, banyak yang bilang Waktu adalah Uang (Time is Money). Tapi itu dulu. Sekarang malah ponsel saya yang selalu saja saya gunakan untuk menghubungi sang pewarta foto. Terbalik memang. Sekarang saya yang mengejar-ngejar pewarta foto. Minta fotokan inilah, atau minta fotokan itulah. Semuanya serba perintah. Jadi merasa selangkah lebih di atas. (Kayak bos aja.. hehehe..)

Tapi sejujurnya, yang namanya motret bagi saya itu bagaikan Salat lima waktu atau wajib hukumnya. Sedih rasanya tidak bisa melihat hasil karya saya termuat dalam Koran. Padahal, saya bisa seperti ini kan’ tak lepas dari yang namanya motret memotret.

Secara karir, saat ini saya sudah naik selangkah. Kalau dulu saya bangga dengan karya foto saya dipasang besar di Koran, sekarang saya harus bangga dengan tulisan saya yang selalu dipilih sebagai headline. Tapi tetap saja, kecintaan saya terhadap dunia fotografi tak bisa saya lupakan. Halah… Hehehehe… Biar bagaimana pun, fotografi memang tak bisa saya lupakan.

Gimana bisa lupa, sementara saya ini pemegang status jawara satu Lomba Foto Kaltim Post Group (Kaltim Post, Samarinda Pos, Radar Banjarmasin, Post Metro Balikpapan, Radar Tarakan, Radar Sulteng, Kalteng Post, Radar Sampit), walau gelar itu saya dapat hampir tiga tahun silam. Hehehe… Mulai narsis yah…

So, kalau saat ini saya disuruh memilih antara Pewarta Foto vs Pewarta Berita, yah sama aja menyuruh saya memilih antara Ibu atau Istri saya… Nah lho… Susahkan… Makanya, sekarang ya saya jalani saja dulu.. Pastilah, semuanya demi kebaikan saya sendiri… Amien!!! ***