Senin, 08 April 2013

Anak Wartawan vs Anak PNS



SEJAK 28 Maret 2013 lalu status Saya berubah! Ya, dari Abah satu anak bergeser menjadi Abah dua anak. Tepat pukul 01.40 Wita, seorang bocah yang dikandung istri saya selama 9 bulan untuk pertama kalinya hadir di dunia ini. Dia adalah adik dari putra pertama saya Kenzie Dzakwan Dzaky An-Nasri. Dan atas restu Allah, bocah putih dan gagah ini saya beri nama Shinji Aufaa Zenobia An-Nasri.

Kehadiran Aufaa jelas membuat suasana kediaman kami berubah. Dari yang sebelumnya hanya terdengar suara kami bertiga (saya, istri dan Kenzie), kini bertambah satu lagi suara tangis bayi yang tak lain adalah Aufaa. Kehadiran Aufaa pun bisa dibilang berbeda dengan kehadiran Kenzie. Jika Kenzie yang lahir 20 Mei 2007 lalu berstatus sebagai putra seorang wartawan Kaltim Post, kini Aufaa hadir dengan status sebagai putra seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Saya dan Istri pun sering berguyon tentang hadirnya Aufaa sebagai putra seorang PNS. Entah kebetulan atau tidak, Aufaa seolah tak mau nongol di Rumah Sakit. Ya, jika Kenzie lahir melalui persalinan normal yang ditangani Dr Sapardi di Ruang Teratai RSUD AW Syahranie, Aufaa memilih lahir melalui tangan Bidan Rizkiah di Klinik Medika Rizkiah Jalan Sentosa. Padahal, saat Istri Saya mules, kami memilih RS Aisyah Jalan Dipenogoro untuk persalinan melalui bantuan Dr Nurul.

Namun, saat diperiksa sang Dokter, Aufaa memilih ogah keluar. “Sudah pembukaan 2, tapi masih tebal jalan lahirnya. Mungkin besok,” ujar Dokter Nurul. Karena alasan itulah, Istri saya memilih untuk minta pulang dan istirahat di rumah. Alasannya pun cukup realistis, Istri saya takut jika memilih menginap di Rumah Sakit dirinya akan dirangsang agar sang bocah cepat keluar. “Yang jelas sakit sekali kalau dirangsang. Mungkin anaknya memang belum mau keluar,” ujar istri saya.

Karena itulah kami memutuskan pulang dan berencana balik keesokan harinya. Kami pun memutuskan untuk pulang ke Sentosa, tempat orang tua dan mertua saya. Kami tak memilih Karang Paci, tempat di mana kami berteduh karena setidaknya dekat dengan orangtua membuat mental istri saya lebih kuat. Tapi diluar dugaan, tepat pukul 23.30 Wita, istri saya mengeluh sakit perut akut seperti ada sesuatu yang hendak keluar.

Saya pun putuskan membawanya ke Bidan terdekat yang jaraknya tak sampai 500 meter dari rumah orangtua kami. Benar saja, tak sampai 2 jam Aufaa akhirnya nongol atas bantuan Bidan Rizkiah. Subhanallah, dia terlahir putih dan gagah, mirip sekali seperti saya waktu kecil. Yang membedakan mungkin hanya kualitas warna kulitnya saja.. Hahahahahahahaha....

Begitulah guyonan kami yang menyebut jika Kenzie anak dokter dan Aufaa anak Bidan. Walau demikian, banyak perbedaan mendasar atas status saya sebagai PNS kini. Jika dulu saya minim waktu melihat perkembangan Kenzie karena kesibukan pekerjaan yang tak kenal waktu, kini saya punya banyak waktu melihat perkembangan Aufaa. Dengan pekerjaan yang mempunyai jam kerja lebih normal (07.30 wita-16.00 Wita), saya bisa menemani hari-hari Aufaa lebih banyak dan lebih detail.

Walau demikian, posisi saya sebagai PNS kini juga tak luput dari pengalaman saya sebagai wartawan dulu. Biar bagaimana pun, pengalaman sebagai jurnalis membuat saya banyak pengalaman dan kenalan untuk menghadapi beratnya menjalani hidup ini. Toh, kini saya juga kangen akan masa-masa liputan dulu. Kangen motret dan kangen menulis. Makanya tulisan ini pun ada karena rasa kangen saya merangkai kata yang sudah saya tanggalkan 2009 silam. ***

Senin, 18 Februari 2013

Hidup Bagai TEMBOK...!!!

Hidup Ini Bagaikan tembok. Agar Kokoh Bangunlah dengan Batu-Batu nan Kuat. Batu-batu besar itu adalah sesuatu yang berat dipikul, keras di jinjing; sesuatu yang kita perjuangkan atas nama cinta; yang senantiasa kita perjuangkan; sesuatu yang padanya kita rela berkorban, berjerih-jerih, bahkan menukarnya dengan segenap jiwa dan raga. Sesuatu itu bisa berupa keluarga, persahabatan, PEKERJAAN, atau apa pun yang begitu berharga sehingga kita harus membangunnya kuat-kuat; serta memolesnya indah-indah. Namun demikian, agar bebatuan besar itu saling rekat-merekat kuat, ia harus ditautkan dengan pasir-pasir kecil. Pasir-pasir lembut yang melindungi telapak kaki kita dari perihnya peristiwa. Pasir-pasir itu adalah kegembiraan dalam syukur, senyuman di balik peluh, serta kehangatan hubungan antar sesama. Jika demikian, maka kita akan dapati sebuah tembok yang menjadi monumen simbol kehadiran kita di dunia ini. Dan, itu tentu jauh lebih baik ketimbang hanya sekedar meninggalkan sepasang nisan di batas kubur. Nah, Mulai hari ini aku bakal sering menghadapi kamu Tembok. Pandanganku tepat menatap kamu tiap hari wahai Tembok. Terimakasih Tembok. Dari Aku yang sekarang Tepat Menghadap Tembok. I Love You TEMBOK...!!!!

Jumat, 30 April 2010

STOP Beri Mereka Uang


KEBERADAAN gelandangan dan pengemis (gepeng) di Samarinda bisa dibilang sangat banyak. Saking banyaknya, keberadaan mereka bahkan sengaja dikoordinir untuk mengemis dengan "menjual" kecacatan tubuh mereka. Sebagian besar mereka didatangkan langsung dari luar Samarinda dan dikoordinir oleh seorang 'bos' yang telah menyiapkan tempat tinggal.

Bos inilah yang merupakan koordinator gepeng yang setiap malam hari mengumpulkan hasil jerih payah mengemis sang gepeng. Bahkan, tak jarang usai mengemis, para gepeng ditelanjangi untuk memastikan tak ada uang yang mereka sembunyikan. Hasilnya, seorang bos pengemis ini bisa mengumpulkan jutaan rupaih setiap harinya. Bahkan di Surabaya, seorang koordinator gepeng memiliki mobil pribadi Honda CR-V.

Di Samarinda, bisnis gepeng memang sangat menjanjikan. Itu karena di Kota Tepian, masyarakatnya memiliki jiwa sosial yang tinggi atau bisa dibilang memiliki rasa kasian yang berlebihan. Itulah celah bagi koordinator gepeng untuk memanfaatkannya. Walau awalnya harus mengeluarkan modal karena harus mendatangkan gepeng cacat dari luar Kalimantan, toh hasilnya mereka bisa meraup puluhan kali lipat.

Lucunya, walau keberadaan markas gepeng sangat bisa diketahui aparat baik kepolisian maupun Pemkot Samarinda yang dalam hal ini Satpol PP, tapi hingga kini tak bisa menyelesaikan masalah ini, atau meringkus sang koordinator. Di Samarinda, dari pengalaman saya sebagai jurnalis, markas gepeng berada di sebagian besar gang di Jl AM Sangaji (Belibis) dan Jl Gerilya. Tapi, setiap kali dirazia, yang ditemukan hanya para gepeng tanpa ada yang mengetahui di mana dan siapa sebenarnya koordinator mereka.

Para gepeng pun setiap razia diamankan dan dibawa Satpol untuk kemudian dipulangkan ke daerah asal dengan merogoh uang pemerintah buat ongkos tiket. Lucunya, berkali-kali dipulangkan, eh, mereka lagi-lagi datang dan mengemis di jalan-jalan di sudut kota Samarinda. Artinya, bisnis ini memang menjanjikan dan membuat sang koordinator rela mengeluarkan uang buat menjemput para gepeng lagi.

Artinya, upaya itu memang tidak ada gunanya. Menurut saya, upaya yang paling ampuh adalah untuk tidak lagi memberikan uang kepada para gepeng ini. Bukannya pelit atau tak berkeprimanusiaan, tapi itulah jalan terbaik. Jika tidak ada lagi yang mau memberikan uang, tentunya perlahan para pengemis ini mundur teratur untuk tidak mengemis lagi. Selain itu, setiap uang yang kita beri kepada para gepeng ini, bukan mereka yang menikmatinya, tetapi para koordinatornya. Dari investigasi saya, para gepeng hanya diberi makan, rokok dan tempat tinggal. Selebihnya masuk ke kantong sang koordinator.

Setiap gepeng satu hari bisa mendapat uang minimal Rp100ribu. Bagi mereka yang cacatnya parah akan mendapat lebih dari itu. Mengapa, itu karena semakin cacatnya seseorang maka semakin dermawan pula warga Samarinda. Bagi saya, masalah gepeng ini adalah PR bagi calon pemimpin kota Samarinda ke depannya. Jangan dibiarkan mereka malah menjadi budak orang-orang tak bertanggung jawab buat kepentingan pribadi semata.
***

Jumat, 21 November 2008

Panduan Bunuh Diri yang Benar

1. Kalau bukan selebriti, jangan bunuh diri cepat-cepat.

Jadilah selebriti lebih dahulu. Agar kematian kamu dikenang oleh publik sebagai sebuah tragedi bersejarah. Misalnya: Kurt Cobain hingga Hitler atau Cleopatra hingga Marlyn Monroe. Kalau bukan seleb, jangan bunuh diri. Sebab nama kamu nggak bakalan masuk ke wikipedia.

2. Bunuh diri sendirian hanyalah akan menjadi noktah dalam statistik makalah mahasiswa filsafat atau kedokteran.

Maka itu, agar sukses, sebelum bunuh diri buatlah sebuah sekte. Isinya orang-orang yang senasib sepenanggungan. Jadikan diri kamu nabi mereka. Kalau mereka percaya kamu nabi, utusan tuhan, atau manusia suci… Barulah ajak mereka kedalam teori kamu akan ‘pembebasan jiwa dari raga’. Kalau kamu tidak punya pengikut, ngapain bunuh diri? Rugi.

3. Sebelum bunuh diri, bilang pada orang-orang kamu mau ‘meninggalkan dunia untuk selama-lamanya secara sengaja’.

Nah dari sana, kamu bisa lihat, orang yang peduli dengan kamu. Biasanya, ada yang nangis, ada yang meratap-ratap, dan pasti ada pula yang melarang-larang. Semakin banyak yang meratap, menangis dan melarang, semakin hebat lah kamu. Nah, kalau tidak ada yang menangis, meratap dan melarang… JANGAN BUNUH DIRI.

Ingat, kalau tidak ada yang peduli kamu mati atau hidup, JANGAN BUNUH DIRI. Sebab aksi kamu sia-sia belaka.

Belajarlah dari blogger yang membunuh blognya dengan sengaja. Apakah ia menjadi tenar? Atau malah hanya jadi angin selintas belaka? Sebab jadi blogger itu enak. Ngaku-ngaku saja pada publik bahwa ia akan membunuh blognya, pasti banyak yang akan komentar serius. Kalau sudah mengaku akan bunuh diri, tapi tidak dapat hits atau komentar, JANGAN BUNUH DIRI!

4. Jadilah fasis sebelum bunuh diri.

Kalau kamu berniat mau bunuh diri. Kamu pasti bukan fasis. Sebab hitler itu walaupun fasis, bunuh diri bukan gara-gara kepingin, tapi gara-gara Nazi Jerman sudah kalah dari sekutu.

Sebab walaupun sangat amat layak bunuh diri, fasis itu biasanya ogah mati. Malah berniat hidup selama-lamanya, agar bisa menindas manusia lain lebih lama.

Nah, kalau kamu banyak hutang, putus cinta ditinggal kekasih, terlibat masalah pelik, jangan bunuh diri. Sebab kalau banyak hutang, bilang saja kepada pemberi hutang, kamu nggak bisa bayar. Lalu cari solusinya bersama. Kalau patah hati, belajarlah menunggu. Tunggu tiga bulan lagi, pasti ada perubahan. Kalau terlibat masalah pelik, cobalah berenang. Berenang itu baik untuk menyelesaikan masalah. Tidak percaya? Jangan bunuh diri, belajar lah berenang dahulu.

5. Pakailah cara yang tidak konvensional.

Sebab kalau cuma gantung diri, minum obat nyamuk, nyilet nadi… Itu mah biasa. Dan sekali lagi, yang biasa itu tidak menimbulkan reaksi apa-apa. Ngapain kamu bunuh diri kalau tidak menimbulkan reaksi? Maka itu pergunakanlah cara yang tidak biasa.

Contoh; Jadilah orang kaya, pemilik perusahaan terkenal merangkap menteri, lalu buat perusahaan kamu ngebor tanah dan menimbulkan lumpur yang luar biasa tak terkira, bau dan panas. Nah, ketika kamu tahu, bahwa kamu sudah mencederai begitu banyak umat manusia dan harus bertanggung-jawab sementara kamu tidak tahu jawabnya, terjunlah ke lautan lumpur. Kematian kamu pasti akan membuat anak buah kamu serta merta membereskan lumpur itu cepat-cepat. Sebab mereka tidak mau atasan kamu, keluarga kamu hingga selir-selir kamu melakukan hal yang sama.

Kamis, 20 November 2008

Pewarta Foto vs Pewarta Berita

MEMOTRET bagi dunia jurnalistik memang sudah tidak asing lagi. Pun begitu bagi saya. Beranjak dari seorang pewarta foto, sekarang saya malah beralih status menjadi pewarta berita. Yah, kalau dulu hanya berkutat pada kamera dan lensa, sekarang malah sebaliknya. Jangankan lensa, kamera pun sudah asing bagi saya.

Sekarang yang harus saya bawa adalah alat rekam dan sebuah notebook. Kalau dulu, hampir setiap saat, yang namanya ponsel selalu saja berdering. Terbanyak adalah dari wartawan yang memohon agar saya bisa datang ke suatu tempat atau kejadian untuk mengabadikan gambar. Dan tidak pernah pakai acara kompromi, karena telat sedikit, moment pun berlalu.

“Waktu adalah Moment, bukan uang,” ujar wartawan senior kepada saya. Aneh, karena setahu saya, banyak yang bilang Waktu adalah Uang (Time is Money). Tapi itu dulu. Sekarang malah ponsel saya yang selalu saja saya gunakan untuk menghubungi sang pewarta foto. Terbalik memang. Sekarang saya yang mengejar-ngejar pewarta foto. Minta fotokan inilah, atau minta fotokan itulah. Semuanya serba perintah. Jadi merasa selangkah lebih di atas. (Kayak bos aja.. hehehe..)

Tapi sejujurnya, yang namanya motret bagi saya itu bagaikan Salat lima waktu atau wajib hukumnya. Sedih rasanya tidak bisa melihat hasil karya saya termuat dalam Koran. Padahal, saya bisa seperti ini kan’ tak lepas dari yang namanya motret memotret.

Secara karir, saat ini saya sudah naik selangkah. Kalau dulu saya bangga dengan karya foto saya dipasang besar di Koran, sekarang saya harus bangga dengan tulisan saya yang selalu dipilih sebagai headline. Tapi tetap saja, kecintaan saya terhadap dunia fotografi tak bisa saya lupakan. Halah… Hehehehe… Biar bagaimana pun, fotografi memang tak bisa saya lupakan.

Gimana bisa lupa, sementara saya ini pemegang status jawara satu Lomba Foto Kaltim Post Group (Kaltim Post, Samarinda Pos, Radar Banjarmasin, Post Metro Balikpapan, Radar Tarakan, Radar Sulteng, Kalteng Post, Radar Sampit), walau gelar itu saya dapat hampir tiga tahun silam. Hehehe… Mulai narsis yah…

So, kalau saat ini saya disuruh memilih antara Pewarta Foto vs Pewarta Berita, yah sama aja menyuruh saya memilih antara Ibu atau Istri saya… Nah lho… Susahkan… Makanya, sekarang ya saya jalani saja dulu.. Pastilah, semuanya demi kebaikan saya sendiri… Amien!!! ***